Rabu, 04 Agustus 2010

Ancaman Resesi Global

Melemahnya perekonomian dunia, lonjakan harga minyak mentah dan berbagai komoditas, merisaukan negeri ini. Melihat belum ada tanda-tanda perbaikan, bangsa ini harus bersiap menghadapi kemungkinan yang lebih buruk. Melemahnya perekonomian dunia membuat sebagian investor luar negeri dikabarkan mulai menarik modalnya dari Indonesia. Padahal, kini nyaris tak ada lagi sektor ekonomi di negeri ini yang tertutup untuk pihak asing.

Akibat penarikan modal oleh investor asing itu, perekonomian nasional pun mulai terasa goyang. Inilah salah satu dampak negatif, dari sistem perkonomian yang sangat terbuka sebagaimana dianut Indonesia selama ini. Karena setiap ada dinamika barang dan jasa di pasar global, langsung mempengaruhi perekonomian nasional.

Situasi ekonomi global itu sangat besar dipengaruhi memburuknya ekonomi Amerika Serikat yang dipicu oleh kasus subprime mortgage (krisis kredit macet perumahan) di negara itu. Melambatnya ekonomi AS yang juga telah diikuti negara-negara maju lain itu berdampak pada pekonomian Indonesia melalui perdagangan (trade channel) dan arus modal (capital flows channel). Sehingga, melemahnya perekonomian global itu telah menurunkan minat investor global terhadap aset-aset negara berkembang seperti Indonesia. Dampak selanjutnya arus modal masuk pun menurun sehingga rupiah melemah.

Kabar tidak enak lagi, perekonomian AS yang merupakan perekonomian terbesar di dunia itu sampai pertengahan Maret, masih terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda bakal berakhir. Bahkan menurut kabar terakhir, sebagaimana dilansir oleh berbagai media, krisis itu bahkan sudah merembet ke industri asuransi, sistem perbankan, dan keuangan secara keseluruhan.

Di samping melemahnya ekonomi global, pengaruh lonjakan harga minyak mentah dunia sudah lebih dulu menggoyang perekonomian nasional. Setiap kenaikan harga minyak mentah dunia akan langsung membengkakkan beban pemerintah karena harus menanggulangi subsidi BBM. Dengan harga minyak di atas US$100/barel seperti sekarang ini, subsidi BBM diperkirakan telah membengkak jadi sekitar Rp250 triliun dari sebelumnya sekitar Rp 170-an triliun.

Saling terkait dengan dua masalah di atas, harga berbagai komoditas pangan di pasar dunia juga mengalami lonjakan belakangan ini. Lonjakan ini juga cukup menggoyang perekonomian nasional, karena walaupun Indonesia dikenal sebagai negara agraris, tapi kenyataannya, negara yang penduduknya mayoritas petani ini harus mengandalkan impor untuk memenuhi bahan pangannya. Dan inti dari telaknya dampak ekonomi global terhadap negara ini adalah karena lemahnya struktur ekonomi yang menyangkut bahan-bahan pokok pangan.

Masyarakat, terutama kalangan bawah, kini sudah mulai merasakan dampak dari gejolak harga dan kondisi ekonomi global ini. Selain daya beli yang merosot tajam, baik karena penurunan pendapatan secara nominal maupun akibat melonjaknya harga pangan dan barang-barang kebutuhan pokok lain, konsumen dan berbagai sektor dalam perekonomian juga dipaksa mengurangi konsumsi. Masyarakat mulai merasakan memburuknya kualitas kehidupan mereka, seperti akses ke pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan, dan hancurnya infrastruktur dasar.

Ancaman lebih lanjut, dikhawatirkan, lapangan kerja dan sumber kehidupan seperti usaha kecil dan menengah pun akan guncang bahkan dikhawatirkan terancam mati. Indikator makroekonomi Indonesia era pemerintahan sekarang memang diakui telah berhasil membuat kemajuan. Namun, kemajuan yang sudah dicapai belum banyak bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat terutama kalangan bawah karena masih belum ada perbaikan signifikan dalam penurunan angka pengangguran dan kemiskinan.

Menyadari kondisi yang dikhawatirkan bisa menimbulkan krisis ekonomi itu, pemerintah telah membuat beberapa langkah antisipasi, di antaranya melakukan penghematan dengan memangkas anggaran di berbagai instansi pemerintah. Di samping itu, pemerintah pun sudah merevisi RAPBN 2008. Pertumbuhan dipangkas jadi 6,4%, asumsi harga minyak US$83 per barel, dan inflasi 6,5%. Target ekspor pun diturunkan dari 12,7% menjadi 10,5%, target investasi dipangkas menjadi 12,3% dari rencana semula 15,5%.

Namun, ke depan, situasi global masih sulit diprediksi. Beberapa pengamat menyarankan agar pembenahan segera dilakukan di dalam negeri. Untuk itu, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat, diharapkan bisa saling mendukung, mengambil prakarsa di depan, dan berkontribusi guna membawa perekonomian bangsa terhindar dari ancaman krisis. MS (BI 56)
Share/Save/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar